Hai, Nak

Surat dariku, yang dari Masa Lalu

Hai, Nak
Gambar oleh <a

Hai, Nak, yang ada di satu masa yang mungkin aku sudah tidak hidup lagi di tahun itu. Mungkin sepuluh tahun ke depan, dua puluh tahun, atau lima puluh tahun lagi. Bagaimana kabarmu, sehat?

Perlu kamu tahu, pertanyaan ini menjadi teramat penting setahun ini, 2020. Bukan lagi basa-basi. Karena begitu kita jawab dengan kurang enak badan, batuk atau pilek, lawan bicara secara otomatis akan menghubungkannya dengan Covid-19. Apakah ia terjangkit? Atau orang tanpa gejala? Pertanyaan remeh-temeh yang kini membuat lawan bicara sangat menunggu jawabannya. Walau jawabannya masih sama, “Sehat,” tapi maknanya berbeda tahun ini.

Padahal tahun lalu, pertanyaan ini hanya menjadi awalan untuk membuka obrolan. Sangat basa-basi. Karena logikanya, jarang kita bertemu teman di jalan, berpapasan, atau saat janjian, dengan kondisi sakit. Kalau sakit ya kita di rumah. Kalau bisa ketemu untuk janjian, artinya kondisi kita sehat.

Begitulah. Kata ‘sehat’ tahun ini maknanya mengalami amplifikasi. Bersyukur yang tidak terhingga kalau kita masih bisa mencium wewangian, masih bisa merasakan apa yang tersaji di hadapan, karena virus ini menghilangkan semua kemampuan indera itu ketika kita terjangkit.

Aku tidak tahu bagaimana cara menghubungimu di masa depan. Jadi kutulis saja surat ini. Aku yakin tulisan fisik masih relevan di masa depan. Walau alatnya sudah bisa bermacam-macam. Siapa tahu di masamu kita sudah bisa menulis di udara? Bahkan tanpa pena? Balas tulisanku dengan caramu ya, Nak.

Kalau kau mau tahu bagaimana cara aku menghubungi teman-teman di masa ini, aku akan membawamu dulu jauh ke belakang. Sekitar 1994, waktu itu aku masuk sekolah menengah pertama, SMP. Entah apa istilahnya di masa depan, karena namanya sering berganti padahal esensinya sama. Ya, itu kerjaan generasi sebelumku. Sukanya mengubah-ubah istilah saja, walau esensinya sama. Mungkin karena ada anggaran untuk merenovasi sebuah papan nama. Tapi aku tidak akan membandingkan istilah mana yang paling keren. Karena siapa tahu, generasiku juga akan melakukan hal yang sama untuk gonta-ganti istilah, saat mereka memimpin negara ini.

Waktu itu, tahun 1994, aku bergabung dengan Pramuka. Aku tersenyum sendiri begitu menuliskan kata Pramuka. Apakah masih ada di masamu? Karena saat ini hanya tersisa seragamnya, dengan raga di dalamnya. Tapi tidak jiwanya. Mati suri orang-orang bilang. Hidup segan, mati tak mau.

Namun aku sangat beruntung di tahun itu bisa bergabung dengan Pramuka. Impeesa nama pasukannya. Konon, dari cerita kakak-kakak kelasku yang lahir di tahun 1970an, pasukan ini begitu disegani. Regu utamanya, Dolphin dan Melati, kalau sudah beredar di lomba-lomba, banyak piala disabet. Jambore Nasional menjadi langganan untuk diikuti. Pada masaku, ada Jamnas 1996. Tiga orang putra, tiga orang putri berhasil dikirim. Aku? Urutan keempat. Kalau ada jatah empat orang, tentunya ikut dikirim juga. Tapi itu tidak terjadi.

Kakak pembinaku, yang juga alumni di SMP yang sama, mempunyai cara menarik untuk mengirim pesan untuk latihan saat itu. Dia mahasiswa jurusan arsitek, yang tulisannya rapi sekali. Setiap huruf yang punya buntut, seperti g, j, p, q, dan y, pasti ujungnya bergelombang seperti bendera berkibar dengan satu puncak.

Kami latihan di hari Sabtu, dan biasanya Kamis dia ke sekolah kami untuk menempelkan pengumuman di kaca sanggar. Hanya selembar, hasil sobekan tengah buku, lalu diselipkan di pojok kiri kaca dari dalam sanggar. Bingkai kaca biasanya ada celah sedikit, dan itu sudah cukup untuk membuat kertas menempelkan seluruh tubuhnya di dinding kaca yang rata.

Saat istirahat, kami berkumpul di depan kaca sanggar. Lucu sekali, padahal kami punya kunci sanggar. Tapi memilih untuk tidak masuk ke dalam, sebelum pengumuman itu habis dibaca. Sabtu akan latihan apa, alat apa yang harus disiapkan, pakai seragam apa, dan lain-lain. Tidak ada gawai saat itu, Nak. Hanya ada telepon rumah, yang mana Telkom rajin sekali untuk bantu pasang ke tiap rumah. Tarik kabel panjang, hubungkan ke dalam rumah. Mungkin tidak terbayang olehmu, kami harus menekan tombol-tombol di telepon rumah yang sebesar buku tulis. Mudah-mudahan masih ada buku tulis di masamu, supaya mudah membayangkannya. Atau bentangkan jari jempol dan kelingkingmu, itulah kira-kira ukurannya. Ada yang tombolnya ditekan, ada yang diputar. Dan bunyinya ‘kriiinggg’. Nyaring sekali. Dengan perkembangan zaman, akhirnya bunyi ‘kring’ itu menjadi fosil juga di masaku.

Jarang bagi kami setelah membaca pengumuman itu, untuk saling menelepon. Karena sudah paham pesannya. Dan karena untuk menelepon, ada tarif yang harus dibayar oleh orang tua kami. Demi menghemat, kami tahan seperlunya untuk menelepon. Dan saat tiba waktunya latihan, jika ada teman kami yang belum datang, kami telepon dia lewat telepon umum. Pecahan logam seratus rupiah harus tersedia di saku, kalau tidak bagaimana cara meneleponnya? Tidak ada wartel di dekat sekolah. Yang ada hanya telepon umum di pinggir jalan, yang berdiri di sebuah tiang dengan boks biru sebagai penutup. Supaya sambungan suara tidak terlalu berisik. O ya, wartel adalah warung telepon. Kita bisa pergi ke situ, lalu menelepon lewat sebuah bilik, yang di depannya ada layar kecil. Berapa tarif yang harus dibayar, tertera di layar hitam dengan tulisan merah tersebut. Kau bisa googling nanti untuk cari tahu visualnya. Itu pun kalau masih berkibar bendera Google di masamu.

Kamu tahu, Nak, cara kakak pembina memberi pesan di kaca sanggar itu aku ulang tujuh tahun kemudian, 2001, saat aku menjadi kakak pembina juga di sekolah yang sama. Alumni selalu menjadi kakak pembina, begitu kaderisasinya. Supaya benang merah gaya mendidik dan mengajar tetap sama. Tapi hasilnya? Tidak efektif.

Di awal tahun 2000an, teknologi komunikasi sudah lebih berkembang. Orang-orang mulai bisa membawa telepon di sakunya. Ajaib. Kala itu. Dan Nokia menjadi raksasa. Siapa yang tidak kenal Nokia? Itu handphone sejuta umat. Ayahku saat itu mewariskan Nokia pisang padaku, setelah transit lebih dulu ke kakakku yang pertama. Semakin gagah kuberjalan dengan Nokia pisang. Memenuhi saku celana. Antenanya menyembul. Kalau ada panggilan telepon, aku geser slide-nya. Gagah sekali. Berasa menjadi Keanu Reeves di film The Matrix. Tapi gawai anak didikku ternyata lebih canggih. Ada yang layarnya sudah berwarna, bahkan ada kameranya. Gawai adik kelas bisa foto dan video! Canggih sekali. Dan bermodal sekali. Sedangkan aku dan tiga teman rekan pembina hanya memakai Nokia pisang, Nokia seri-3, dan Sony Ericson. Semua tanpa kamera. Yang penting bisa kirim SMS, short message service. Biayanya Rp 350 sekali kirim dengan 160 karakter. Kami harus berhemat dan menyingkat semua kata demi sekali saja kirim pesan.

Ternyata pengumuman di kaca sanggar sudah usang saat itu. Anak didik lebih mudah dan lebih suka ter-update di layar kecil gawainya. Lebih personal. Tidak ada lagi kerumunan di depan kaca sanggar saat jam istirahat. Tidak ada diskusi besok kita bawa apa, mau datang jam berapa. Anak didik saat itu lebih nyaman berkomunikasi lewat SMS dengan sesamanya. Dari rumah masing-masing. Yang kalau dua puluh kali SMS kadang dapat gratisan SMS sekian kali dari beberapa provider.

Sehabis membina, kami berempat – sang kakak pembina – seangkot bareng menuju rumah masing-masing. Kami semua berdekatan, di Dago, Bandung. Biasanya di angkot ada pembicaraan terakhir, “Kumpul di basecamp jam tujuh malam, ya.” Itu sebelum ada gawai di tangan. Setelah kami semua memilikinya, dari rumah kami membuat kode sendiri untuk berbicara efektif dan murah. Missed call tiga kali, artinya bertanya, “Ke basecamp?” Kalau ya, missed call satu kali. Kalau tidak, dua kali. Dengan begitu, kami tidak perlu keluar pulsa.

Rupanya beberapa provider ada yang paham dengan kondisi begitu. Mereka membuat komunikasi gratis selama satu detik. Bayangkan, Nak, satu detik! Kamu akan bicara apa jika tarifmu nol rupiah dalam satu detik? Aku bisa bicara tiga kata, “Ke basecamp gak?” atau, “Saya berangkat sekarang.” Itu kalau beruntung. Penyesalan terjadi kalau ternyata terukur pembicaraan selama dua detik. Sial, lebih satu detik! Dan tarifnya gila, menurut kantong mahasiswa. Mending bicara panjang sekalian daripada bablas satu detik.

Persaingan provider mulai menggila. Mereka ada yang menawarkan gratis tiga detik. Bahkan gratis SMS. Perang terjadi. Kami semua yang diuntungkan. Biarkan mereka yang berkompetisi.

Dan Nak, di tahun aku menulis ini, SMS sudah kuno sekali. Kami pakai Whatsapp sekarang, atau Telegram. Ada juga yang masih pakai Line. Kadang chat di Facebook, atau direct message di Instagram. Banyak cara. Teknologi makin maju. Tapi kalau sinyal susah sekali didapat, SMS masih sangat efektif. Atau telepon saja langsung, toh tarif menelepon sudah tidak sekacau dulu zaman 90an, atau 2000an awal. Kacau bagi dompet kami soalnya yang hanya mahasiswa yang berupaya menghemat semua pengeluaran. Uang kiriman dari orang tua dijaga supaya cukup sampai akhir bulan.

Zaman ini, komunikasi bukan lagi hal yang sulit dilakukan melalui teknologi. Banyak cara, banyak media, banyak gawai, banyak aplikasi yang menunjang. Tapi kau tahu, Nak, ternyata komunikasi langsung menjadi soal sekarang. Orang-orang lebih senang berbicara lewat ketikan di gawai yang makin canggih itu. Dia senyum melalui emoticon. Terpingkal-pingkal melalui emoticon. Bahkan menyampaikan pesan hanya lewat meme kalau malas mengetik.

Kamu tahu, Nak, di masa ini… aku malah kangen 1994. Yang mana kalau gak ketemuan gak rame. Gak cekikikan bareng gak seru. Telepon rumah jarang berbunyi buatku, paling untuk orang tua. Kami lebih suka perbincangan di angkot, lalu memutuskan janjian berikutnya di mana jam berapa.

Apa kabar di masamu, Nak? Bagaimana cara ngobrol seru di sana?

Kirimi aku tulisan, ya. Dengan caramu.

Aku, yang dari masa lalu

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.