[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #4

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #4

 

 

Empat

Bawono Kinayung

 

 

Pinasti melongok ke luar jendela. Dalam kegelapan yang masih remang, dilihatnya Paitun, Wilujeng, dan Kresna duduk di bangku. Suasana begitu hening. Hanya ada nyanyian serangga yang bersahutan membentuk simfoni. Seketika ia paham. Pembicaraan dalam sunyi itu dilakukan secara tertutup karena ia sedang tak boleh mendengar apa-apa.

 

Gadis muda itu pun beranjak. Saat hendak mengundurkan diri ke arah belakang pondok, terdengar beberapa kali suara dengking pendek. Pinasti pun mempercepat langkahnya keluar ke beranda belakang. Ketika ia sampai di sana, dilihatnya Bondet sudah duduk menunggu.

 

Pinasti mengerutkan keningnya. Ajak putih itu lebih sering berkeliaran di ‘atas’ bersama kawanannya. Jarang sekali turun kalau tidak sedang ada acara berkumpul di tepi danau. Tapi sekarang? Seolah memerlukan diri untuk datang menemuinya secara khusus.

 

“Ndet? Tumben?” Pinasti duduk di bangku kecil di sudut beranda belakang.

 

Bondet pun menghampirinya, kemudian mengulurkan cakar kirinya pada Pinasti. Gadis muda itu pun menyambutnya dengan mengulurkan tangan kiri. Kedua telapak mereka bertemu, dan keduanya pun siap melakukan percakapan dalam hening secara tertutup. Dengan sikap santai, Bondet duduk di hadapan Pinasti.

 

‘Nah, sekarang katakan padaku, ada apa, Ndet?’

 

Bondet terdiam sejenak sebelum menjawab, ‘Abangmu itu... kapan hendak kembali ke atas?’

 

‘Aku nggak tahu,’ Pinasti menggeleng. ‘Sekarang ini Nini, Ibu, dan Mas sedang bicara di depan. Aku nggak bisa dengar.’

 

‘Mereka mencarinya, Pin. Ada lima orang yang turun ke Lembah Biru beberapa hari yang lalu. Dekat sekali dengan gerbang utama Bawono Kinayung. Aku terpaksa mengusirnya.’

 

‘Oh....’

 

Pinasti paham seutuhnya. Bondet dan Sumpil adalah penjaga utama gerbang-gerbang Bawono Kinayung. Tak bisa disalahkan kalau memang harus mengusir orang dari ‘atas’ yang mendekati gerbang.

 

‘Kelihatannya abangmu memang harus kembali ke atas, ya?’

 

Pinasti tersentak ketika ucapan Bondet itu menembus benaknya. Tanpa sadar mata Pinasti mengaca.

 

Kalau Mas harus kembali ke atas, kapan lagi bisa bertemu Mas?

 

Bondet mengerti apa yang dipikirkan gadis muda itu. Diletakkannya cakar kanannya ke pangkuan Pinasti. Gadis itu buru-buru menghapus genangan air matanya sebelum menggenggam cakar Bondet.

 

‘Ada yang namanya takdir, Pin. Sudah menggariskanmu untuk kelak bersama lagi dengan Kresna. Pada saat yang tepat.’

 

‘Benarkah?’ Pinasti menatap Bondet.

 

Ajak putih itu mengangguk. Ada seulas senyum dalam tatapan matanya. Pinasti pun membalas senyum itu.

 

“Kik... kik... kik...”

 

“Kik... kik...”

 

Beberapa kali dengkingan itu diakhiri dengan lolongan panjang yang menggema bersahutan dari arah kanan beranda pondok. Bondet pun berdiri.

 

‘Pin, aku harus kembali ke atas. Kamu baik-baik di sini, ya?’

 

Pinasti mengangguk dan melepas kepergian Bondet dengan lambaian tangannya. Ajak putih itu segera menghilang dalam kegelapan. Pinasti kembali sendirian. Ditariknya napas panjang tiga kali sembari memejamkan mata. Kali ini ia ingin menutup pikirannya dari siapa dan apa pun. Ia sedang ingin berkelana seorang diri dalam alam pikirannya. Memikirkan apa yang dirasakannya selama beberapa hari ini.

 

Tentang debar-debar aneh yang selalu muncul bila ia berdekatan dengan Kresna. Tentang aliran mengejutkan yang pernah muncul saat ia bersentuhan dengan Kresna.

 

Apa ini sebenarnya?

 

‘Itu yang namanya cinta, Pin!’

 

Gadis muda itu tersentak kaget ketika suara berat itu menembus benaknya begitu saja. Ia menoleh dengan wajah kesal. Janggo ternyata sudah ada di dekatnya, duduk manis di batas beranda. Dan, sialnya, ia memang tak pernah bisa menutup pikirannya dari Janggo. Ajak itu menyeringai jenaka sambil berdiri dan menghampirinya.

 

‘Cinta itu ada bermacam-macam,’ lanjut Janggo. ‘Kedekatanmu dan Bu Wilujeng juga karena cinta. Ikatan ibu dan anak. Kamu dengan Nini juga terikat cinta cucu dan nenek. Kedekatan kita juga karena cinta. Ikatan persahabatan. Semua yang dekat dengan diri kita juga terikat oleh cinta. Cinta yang saling menghubungkan jiwa-jiwa kita yang masih mengembara di sini. Dan, ada lagi bentuk cinta yang lain. Seperti yang kamu rasakan terhadap Kresna.’

 

‘Ya, aku mengerti,’ angguk Pinasti. ‘Cinta persaudaraan, kan?’

 

Tapi Janggo menggeleng dengan ekspresi misterius. Pinasti menatapnya dengan kening berkerut.

 

‘Nanti juga kamu akan tahu, Pin.’

 

Pinasti menggeleng samar. Benar-benar tak bisa memahami ucapan Janggo. Tapi ketika ia hendak bertanya, Janggo sudah pergi begitu saja tanpa pamit. Bersamaan dengan itu, terdengar suara Wilujeng memanggilnya.

 

“Pin! Kamu di mana, Nduk?”

 

“Di belakang, Bu,” jawabnya sembari beranjak.

 

Keduanya berpapasan di depan pintu. Wilujeng mengulurkan tangan, membelai kepala Pinasti.

 

“Sudah malam, Nduk,” ucapnya lembut. “Ayo, tidur. Tadi Bibi Kriswo sudah menghubungi Ibu. Buku-buku yang kita pesan sudah datang. Besok pagi akan diantarnya ke sini. Jadi, kamu bisa lanjut belajar lagi.”

 

Seketika wajah Pinasti terlihat cerah. Ah, betapa hausnya ia akan segala sesuatu tentang dunia di luar sana. Dunia ‘atas’ yang sama sekali belum pernah dilihatnya. Kamarnya bersama Wilujeng selama ini dipenuhi tumpukan buku yang tertata rapi dalam rak-rak yang dibuatkan oleh Tirto.

 

Seingatnya, dari awal Wilujeng memang sudah mengajarinya tentang apa yang namanya membaca, menulis, berhitung, dan aneka jenis pengetahuan. Semua bahan dan sumbernya berasal dari ‘atas’. Diperoleh dengan cara menitip ketika ada yang sedang berkeperluan di ‘atas’.

 

Selama beberapa hari ini memang acara belajarnya sedikit terganggu karena Wilujeng sedang sibuk mengurusi Kresna. Tapi bila ada buku baru, tentu ia bisa menekuninya sendiri walaupun tanpa didampingi Wilujeng.

 

Ia ingat betul ucapan Wilujeng. “Semua ini akan berguna bila kelak kita kembali ke ‘atas’, Nduk.” Sejujurnya, saat itu ia tak mengerti seutuhnya arti ucapan Wilujeng. Tapi seiring dengan bertambahnya usia, ia mulai memahami bahwa ia sama seperti Wilujeng, karena ia putri Wilujeng, berasal dari ‘atas’. Hanya perlu waktu yang tepat untuk kembali ke sana.

 

Entah kapan.

 

* * *

 

Kresna hanya bisa berbaring dalam diam di pembaringan. Semua pembicaraan yang belum lama berlalu dari benaknya bersama Wilujeng dan Paitun seolah membuat ia tak bisa lagi berpikir. Benaknya terasa pepat oleh hal-hal absurd di luar nalar, yang mau tak mau ia harus memahaminya.

 

Dihelanya napas panjang. Sekadar melepaskan rasa sesak di dada. Dan, rangkaian pembicaraan dalam hening itu kembali melingkar-lingkar dalam benaknya.

 

 

 

‘Sekarang waktunya bagi kami untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, Kres,’ ujar Paitun.

 

Kresna menatap perempuan tua itu lama sebelum meluncurkan tanya, ‘Sebetulnya tempat apa ini?’

 

Paitun mengangguk sebelum mulai berkisah. Begitu banyak hal yang serupa dongeng dari antah-berantah. Begitu banyak hal yang membuat Kresna ternganga.

 

Tempat teduh itu Bawono Kinayung namanya. Berada di perut Gunung Nawonggo. Terhubung dengan dunia-dunia lain di beberapa perut gunung tak berapi melalui lorong-lorong rumit maupun sungai bawah tanah. Setiap dunia memiliki namanya sendiri. Penghuni awalnya adalah manusia-manusia abadi yang diciptakan Gusti untuk melindungi manusia penghuni dunia ‘atas’, yang karena suatu sebab terjatuh ke dalam jurang-jurang di gunung-gunung itu.

 

Tapi Gusti punya hukumnya sendiri. Bila tak ada tanda-tanda harus ditolong, maka penghuni dunia ‘bawah’ tak boleh menyentuh orang jatuh itu. Sepenuhnya adalah kuasa Gusti. Akan mengembalikan pada keluarganya dalam keadaan hidup ataukah jasad mati, ataukah menjadikannya ‘upah’ bagi para ajak penjaga gerbang.

 

Begitu pula bagi orang-orang yang memang harus diselamatkan. Ada yang memang harus kembali ke ‘atas’ pada waktu yang tepat, ada juga yang sudah digariskan untuk tetap berada di ‘bawah’, membantu para pendahulu. Jumlahnya tidak banyak. Dan, mereka tetaplah manusia yang tak abadi.

 

Hanya ada empat pondok di Bawono Kinayung. Pondok Paitun yang selama beberapa belas tahun ini hidup bersama Wilujeng dan Pinasti, pondok Tirto yang selama ini jadi pemelihara ajak-ajak penjaga Bawono Kinayung, pondok pasangan Randu dan Kriswo, dan pondok Nyai Sentini. Nyai Sentini, Paitun, dan Tirto manusia abadi, sedangkan pasangan Randu dan Kriswo adalah manusia dari ‘atas’. Dua orang yang terakhir ini bertemu di bawono lain, Bawono Murni, dan tak mau kembali ke ‘atas’ secara permanen. Keduanya kemudian menikah, dan oleh Paitun sengaja diminta untuk melanjutkan hidup di Bawono Kinayung.

 

‘Jadi, tempat seperti ini bukan hanya di sini?’ tanya Kresna melalui pikirannya, dengan bulu kuduk berdiri.

 

‘Ya,’ angguk Paitun. ‘Ada Bawono Kecik di perut Gunung Julang, Bawono Satiti di perut Gunung Geni, Bawono Murni di perut Gunung Gombrang, dan yang terdekat dari sini sekaligus paling besar tempatnya adalah Bawono Sayekti di perut Pegunungan Pedut.’

 

Seketika Kresna tersentak.

 

Pegunungan Pedut?

 

Tentu saja ia tak akan pernah melupakan tempat itu. Tempat ia harus mulai kehilangan kasih sayang seorang ibu. Tempat ia harus kehilangan harapan untuk segera memiliki seorang adik.

 

Lalu, tatapannya bertemu dengan tatapan Wilujeng. Terkunci dalam hening dan beku, sebelum perempuan ayu itu menggeser duduknya, mendekatinya, dan memeluknya erat. Ada aura lara yang sama mengambang di udara sekitar mereka.

 

‘Salah satu sebab ibumu masih tertahan di sini, karena dia masih punya tugas,’ usik Paitun. ‘Untuk membesarkan Pinasti, dan untuk merawatmu sebelum kembali ke ‘atas’.’

 

Kresna dan Wilujeng saling melepaskan pelukan. Kresna kembali menatap Paitun.

 

‘Bagaimana Ibu dan aku bisa sampai di sini, Nini?’

 

Kemudian Paitun bercerita tentang bagaimana Kresna bisa sampai di tempat itu. Bermula dari isyarat bunyi debum, hingga ia sampai dengan selamat, terbaring di dalam bilik kosong di bagian depan pondok Paitun. Kresna tercenung mendengarnya.

 

‘Jadi, sekarang ganti aku yang bertanya padamu.’ Gema suara Paitun terdengar tegas. ‘Siapa yang sudah membuatmu celaka?’

 

Perempuan tua itu berusaha keras menembus pertahanan Kresna. Tapi lagi-lagi ia gagal. Ia hanya bisa berhadapan dengan kabut tebal yang menyelimuti pikiran Kresna. Kabut tebal serupa dinding masif yang membuat ujung pikirannya kembali mental.

 

Kresna mendegut ludah sebelum menjawab, ‘Kupikir itu tidak penting lagi, Nini. Yang penting aku selamat, masih hidup. Dan, yang lebih penting daripada semua itu, aku bisa bertemu lagi dengan ibu dan adikku.’

 

‘Kres, apakah....’ Wilujeng tak mampu meneruskan ucapannya.

 

Kresna mengalihkan tatapan ke arah Wilujeng.

 

‘Bu, sudahlah,’ ujar Kresna, tegas. ‘Keadaan ini tak lagi bisa diubah.’

 

Seketika Wilujeng mengerti. Pun Paitun.

 

‘Suatu saat dia akan menerima balasan dari Gusti,’ gumam Paitun. ‘Suatu saat.... Karena dia juga harus menjemput takdirnya sendiri.’

 

Kresna bergidik mendengarnya. Tapi rasa ingin tahunya belum tuntas. Ditatapnya Paitun dan Wilujeng bergantian.

 

‘Dan, Ibu... bagaimana bisa sampai di sini?’

 

Paitun mengerjapkan mata sebelum balik bertanya dengan gema suara lirih, ‘Kamu masih ingat kejadian terakhir sebelum kehilangan ibumu?’

 

Kresna mengangguk dengan rupa lara. Ia ingin melupakan peristiwa itu. Menghapusnya dari lembar kehidupannya. Tapi tak pernah bisa.

 

‘Ibumu jatuh di Jurang Srandak. Dekat dengan gerbang Bawono Sayekti. Ibu Bondet menemukannya. Tahu Bondet, kan?’

 

Kresna mengangguk. Ia ingat nama dan bentuk ajak putih itu.

 

‘Dia kemudian memberitahu Sentono dan Winah, tetua Bawono Sayekti. Keduanya menyelamatkan ibumu yang terluka cukup parah tapi masih hidup. Adikmu pun lahir di sana tak lama kemudian. Saat itu aku sedang ada di Bawono Sayekti. Ketika aku harus kembali ke sini, kubawa serta ibumu dan Pinasti. Gusti sendiri yang menyuruhku.’

 

Kresna tercenung. Tatapannya kemudian bertemu dengan tatapan Wilujeng yang mengembangkan telaga bening.

 

‘Tapi Ibu tak pernah kembali...,’ gumamnya, dengan aura kepedihan yang begitu pekat.

 

‘Belum waktunya, Nak,’ tukas Paitun dengan nada menegur. ‘Karena tiap hal punya waktu dan rangkaian kejadiannya sendiri-sendiri.’

 

Kresna menghela napas panjang. Tak puas. Seutuhnya Paitun memahami hal itu. Dengan halus, ditepuknya bahu kiri Kresna.

 

‘Kalian bertiga akan kembali ke ‘atas’,’ ucapnya lagi. ‘Pada waktu yang tepat. Karena Gusti sudah menggariskannya begitu.’

 

Dan, Kresna tak tahu harus mengatakan apa lagi.

 

‘Sementara kamu masih ada di sini, kamu boleh menjelajahi tempat ini,’ bisik Paitun. ‘Berkenalan dengan orang-orang yang ada di sini. Pinasti akan menemanimu. Janggo juga akan ikut menjagamu.”

 

Pemuda itu hanya bisa mengangguk.

 

 

 

Matanya mulai terasa berat. Kresna menguap. Hari-harinya masih akan panjang di sini. Dan, masih banyak lagi hal yang ingin diketahuinya. Terutama tentang dunia teduh bernama Bawono Kinayung ini.

 

Dari mana asal sinar yang menerangi itu?

 

Kresna menggigit bibir bawahnya.

 

Bagaimana pagi, siang, sore, dan malam bisa terbentuk juga di tempat ini?

 

Pemuda itu menggulingkan badannya di atas tilam. Mulai memejamkan mata.

 

Kenapa...? Apakah...?

 

Dan, begitu saja ia terjatuh ke alam mimpi.

 

* * *

 

(Bersambung hari Sabtu)

 

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.